Perlindungan Pekerja Migran NTB Jadi Sorotan Utama Komisi IX

Anggota Komisi IX DPR RI, Muazzim Akbar, saat pertemuan di Gedung Sangkareang, Kantor Gubernur NTB, Kamis (28/5/2025). Foto: Ria/vel
PARLEMENTARIA, Mataram – Isu perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi perhatian utama Komisi IX DPR RI dalam kunjungan kerja mereka. Pasalnya, NTB tercatat sebagai provinsi pengirim PMI terbanyak keempat secara nasional, namun ironisnya, 70 persen dari mereka adalah pekerja di sektor informal.
Anggota Komisi IX DPR RI, Muazzim Akbar, secara khusus menyoroti maraknya kasus PMI ilegal, terutama yang bertujuan ke Timur Tengah, seperti Arab Saudi. Ia mendesak Kementerian BP2MI untuk segera mencabut moratorium penempatan pekerja migran ke Timur Tengah.
"Pencabutan moratorium akan membantu menekan keberangkatan ilegal dan memastikan perlindungan asuransi bagi PMI, sehingga pemerintah dapat bertanggung jawab jika terjadi masalah," ujar Muazzim di Gedung Sangkareang, Kantor Gubernur NTB, Kamis (28/5/2025).
Selain itu, Muazzim juga berharap Balai Latihan Kerja (BLK) di NTB dapat lebih efektif dalam meningkatkan kompetensi tenaga kerja. Hal ini penting agar mereka memiliki keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, baik di dalam maupun luar negeri.
Ia juga menyoroti proses klaim bagi PMI yang meninggal di luar negeri. Ahli waris berhak mendapatkan santunan kematian sebesar Rp 85 juta dan uang pemakaman sebesar Rp 5 juta. Muazzim berharap komunikasi antara BP2MI dan BPJS Ketenagakerjaan dapat lebih lancar dalam proses pencairan dana tersebut.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh anggota Komisi IX lainnya, Netty Prasetiyani. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru mencabut moratorium penempatan PMI ke Timur Tengah hanya demi mengejar devisa. Netty menekankan pentingnya menyiapkan skema perlindungan yang optimal terlebih dahulu.
"Jangan sampai dengan alasan devisa terbesar kedua setelah migas, kita memberangkatkan pekerja-pekerja migran kita tanpa perlindungan yang optimal," tegas Netty.
Menurutnya, perlindungan ini harus mencakup seluruh proses, mulai dari rekrutmen, pelatihan bahasa, hingga pembekalan sosio-kultural yang komprehensif sebelum para pekerja diberangkatkan. (rnm/aha)